Sejarah Kebudayaan
Manusia disebut sebagai makhluk yang berbudaya karena perilakunya
sebagian besar dikendalikan oleh budi atau akalnya. Kata berbudaya
berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata
budhi yang berarti akal. Dalam bahasa asing lainnya terdapat kata-kata
seperti culture (Inggris), cultuur (Belanda) atau Kultur (Jerman).
Berasal dari kata Latin coltere yang berarti pemeliharaan, pengolahan,
dan penggarapan tanah menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan
kata-kata itu juga diberi arti “pembentukan dan pemurnian”, misalnya
pembentukan dan pemurnian jiwa.
Kebudayaan menurut E.B. Taylor, “Kebudayaan adalah kompleks keseluruhan
yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat
dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat”. Menurut Koentjaraningrat,
”kebudayaan sebagai keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia
yang teratur oleh tata kelakuan, yang diperoleh melalui belajar dan
tersusun dalam kehidupan masyarakat”.
Sejarah Kebudayaan memang sangat sedikit ditulis oleh seorang sejarwan.
Sejarah
kebudayaan sebagai bagian dari sudut pandang sejarah dalam
melihat suatu peristiwa. Untuk tulisan sejarah budaya dalam kajian
antropologi, filsafat dan jurnalisme telah banyak diterbitkan. Namun,
kesemuanya merupakan patokan pengmatan kebudayaan pada masa kini atau
berupa kajian kontemporer saja, bukan sebagi proses historis.
Namun, kajian sejarh tentang kebudayaan sudah diaktualisasikan berupa
karya dari Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939
atau Djoko Soekiman, Kebudayaan Indisch. Kedua buku tersebut merupakan
kajian yang mendekati sejarah kebudayaan dalam tema, tetapi masih belum
berupa sejarah kebudayaan dalam pendekatan.
Dalam memberikan gambaran Kuntowijoyo tidak memberikan keputusan dalm
penulisna sejarah kebudayaan namun ia membrikan rujukan yang bisa dianut
oleh sejarawan. Kuntowijoyo mencuplik dari buku milik Karl J.
Weintraub, memuat tradisi historiografi kebudayaan dari sejarawan Eropa.
Seperti Voltaire dengan ukuran untuk menyebut masyarakat, bangsa, dan
rakyat beradab; burckhard, berusha dalam penemuan struktur dan tata
dalam sejarah kebudayaan. Menurut Burckhard, kebudayaan ialah kenaytaan
campuran sedangkan tugas sejarawan adalah mengkoordinasikan elemen-elemn
dalam gambaran umum. Burckhard menggambarkan sejarah kebudayaan sebagai
fragmen-fragmen yang disatukan seperti mozaik. Lamprecht, sejarah
kebudayaan ialah sejarah sejarah dari seeleben (kolektifitas yang berupa
apa saja, di mana ada jiwa zaman, dan di situ ada kebudayaan),
kehidupan rohaniah suatu bangsa, melalui jiwa yang terbelenggu atau jiwa
yang bebas. Heuizinga kebudayaan sebuah struktur, sebuah bentuk.
Sejarah sebagai bentuk kejiwaan dengan apa sebuah kebudayaan menilai
masa lampau. Sejarah kebudayaan menurut Heuzinga adalah usaha mencaru
”morfologi budaya”, studi tentang struktur.
Kemudian, pandangan Kuntowijoyolebih ditujukan kepada pandangan
Burckhardt dan Huizinga, karena dianggap sebagi penulis klasih sejarah
kebudayaan. Burckhardt telah mampu untuk memisahkan antara kajian
antropologi dengan kajian sejarah. Perbedaan itu terletak pada
pendekatan yang sinkronis, sistematis, tetapi tanpa kesalahan kronologis
dalam peyajiannya. Kedua, usahanya memperluas bahan-bahan kajian
sejarah kebudayaan dengan memberikan gambaran secara keseluruhan.
Huizinga juga menambahkan bahwa pentingnya general thema dalam sejarah
kebudayaan dan tugas sejarah kebudayaan adalah mencari pola-pola
kehidupan, kesenian, dan pemikiran bersama-sama. Tugas itu adalah
pemahaman secara morfologis dan deskriptif adari kebudayaan yang aktual,
tidak dalam bentuk abstrak sehingga dalam penjelasan sejarah kebudayaan
yang diungkapkan haruslah aktual dan konkret.
Gambaran umum dapat dicapai dengan menemukan central concept sebuah
kebudayaan, meskipun ada kalanya sebuah kebudayaan memiliki banyak pusat
(plural centre). Kalu orang akan menulis bagian-bagian dari kebudyaan,
tanpa mengkaitkan sengn konsep sentral, hasilnya bukanlah sejarah
kebudyaan, tetapi sejarah yang tertentu dan khusus. Sejarah kesenian,
misalnya, yang ditulis tanpa mengingat tema umum budayanya, adalah
sejarah kesenian, bukan sejarah kebudayaan.
Dalam penulisan sejarah kebudayaan perlu diperhatikan tentang
kecenderungan penulisan sejarah agar tidak masuk dalam kajian
antropologi dan tidak memakai scope yang lebih kecil karena bisa masuk
pada bagian dari sejarah kebudyaan. Kajian sejaraj dengan kajian
antropologi hampir sama dalam metodologi yang dipergunakan, namun
berbeda dalam dalam melakukan kritik sumber. Sejarawan akan melakukan
kritik sumber lebih detail daripada kritik yang digunakan oleh
antropolog. Namun, sejarawan tidak boleh terjebak dengan tulisan
antropologi yang bersifat historis seperti tulisan dari Pujo Semedi,
Depletion of The Java Sea’s Fish Stock, 1860’s-1990’s. Tulisan itu
seakan-akan menggambarkan kecenderungan bahwa tulisan tersebut masuk
dalam ranah sejarah, namun perlu diperhatikan bahwa pengambilan tahun
yang sangat panjang menajdi salah satu bentuk yang perlu ditandai.
Masuknya sejarah kebudayaan ke dalam sejarah yang bersifat khusus,
seperti sejarah kesenian, atau sejarah yang masih mengandung sifat
budaya merupakan turunan dari sejarah kebudayaan itu sendiri.
Sejarah Seni
Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat
diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena
itu kesenian mempunyai bidang-bidang cakupan yang cukup luas dan
beragam.
Sementara itu menurut Richard L. Anderson seni mempunyai sifat umum yang dapat dijumpai dimanapun.
Sifat-sifat tersebut adalah:
1. mempunyai arti yang bermakna budaya, seperti menjadi sarana
hubungan dengan kekuatan adikodrati, menjadi sarana komunikasi dan
pendidikan,
2. memperlihatkan gaya, yaitu gaya yang dipandang sebagai
tradisi milik bersama dalam suatu kebudayaan dan sebagai tanda
agar seni dapat menyampaikan arti,
3. memerlukan kemahiran khusus untuk menghasilkan suatu karya
seni sehingga seseorang seniman dapat dibedakan dari orang
dewasa.
Sifat-sifat seperti tersebut kiranya juga dimiliki oleh kesenian yang hidup dan berkembang pada masa Jawa kuno.
Seni Pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi
dasarnya adalah yang dipergelarkan langsung di hadapan penonton. Seni
pertunjukan dapat dipilah menjadi tiga kategori yakni:
1. Musik (vokal, instrumental, gabungan)
2. Tari (representasional dan non-representasional)
3. Teater (dengan orang atau boneka/wayang sebagai dramatis personae).
Jagad seni adalah jagad refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika
tiada henti yang hanya akan berakhir pada saat sirnanya manusia dari
atas bumi.
Tentang mampu tidaknya pengarang menyelesaikan masalah yang hendak
dipecahkannya itu, sudah tentu, bukan sesuatu yang ditentukan olehnya.
Tetapi hal-ihwal yang menarik perhatiannya itu mempunyai hak sepenuhnya
akan perhatian semua siswa mengenai masalah-masalah estetika, artinya,
perhatian semua pihak yang menaruh minat pada seni, persajakan dan
kesusasteraan. Semua mengakui tingginya arti-penting sejarah seni,
terutama sejarah persajakan; karena demikian halnya, maka
pertanyaan-pertanyaan: apakah seni itu? apakah persajakan itu? tidak
bisa tidak mempunyai arti yang penting sekali.
Agak sulit rasanya untuk membicarakan perkembangan seni pertunjukan di
Indonesia secara keseluruhan, sebab masing-masing kategori (musik,
tari dan teater) memiliki karakter dan kekhasan tersendiri dan
sangat kompleks.
Salah satu bentuk sejarah seni adalah Karya dari Soedarsono dalam
Wayang Wong: The State Ritual Dance Dramain the Court of Yogyakarta.
http://sejarawan.wordpress.com/2009/02/24/sejarah-kebudayaan-dan-sejarah-seni-sebuah-review-dan-pemahaman-singkat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar